Rabu, 19 November 2014

Pendidikan Kebencanaan Negara Khatulistiwa



Ludvi Kamalikasari
Program Pascasarjana Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Universitas Pakuan
19 November 2014


Gambar 1. Gunung meletus (Listyo Yuwanto, 2014)

Banjir, angin puting beliung, tanah longsor, gunung meletus (gambar 1), kebakaran hutan, tsunami, dan gempa bumi merupakan bencana yang sudah kita kenal. Bencana alam yang disebutkan itu berpotensi terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan wilayah yang tergolong memiliki tingkat kerawanan bencana tinggi (tabel 1) sehingga perlu dilakukan pendidikan kebencanaan.

Tabel 1. Bencana alam besar di Indonesia tahun 1997-2007 (Kementrian PU dan PR RI, 2009)
  


Apa itu Pendidikan Kebencanaan?

Gambar 2. Mahasiswa UGM beri pendidikan kebencanaan bagi anak-anak (Gusti, 2014)

Pendidikan kebencanaan (gambar 2) adalah suatu usaha pemahaman nilai-nilai dan konsep-konsep dalam rangka mengembangkan keahlian dan sikap yang diperlukan untuk mengerti, memahami, dan mengaplikasikan nilai-nilai yang diperlukan untuk pengurangan risiko bencana guna menghindari permasalahan kebencanaan yang ada saat ini, serta yang mungkin akan muncul di saat mendatang (Lies Rahayu, 2009).

Seperti apa nilai-nilai pendidikan ini?
Nilai yang dibawa melalui pendidikan kebencanaan pada hakekatnya adalah nilai yang sangat penting untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. The Ministry of Education (2003) di Wellington menyatakan bahwa untuk mencapai keberlanjutan tersebut, terdapat empat konsep kunci pendekatan, yaitu:
  1. Interdependency, yaitu nilai ekologis yang menyatakan bahwa adanya keterkaitan antara makhluk hidup dan lingkungan abiotiknya.
  2. Sustainability, yaitu keberlanjutan jangka panjang akan sumberdaya yang ada.
  3. Biodiversity, yaitu keanekaragaman seluruh komunitas ekologi. Menurut Keraf (2002), salah satu teori ekosentrisme popular yaitu Deep Ecology (DE) memandang bukan hanya manusia tetapi seluruh komunitas ekologi sebagai pusat perhatian.
  4. Personal and responsibility for action, yaitu pemahaman antara tiga konsep (interdependency, sustainability, dan biodiversity) secara bersama-sama menjadi bekal manusia untuk beretika dalam bertindak dan bertanggungjawab terhadap lingkungan.
 Bagaimana konsep pendidikan ini?
Soetaryono (1999) mengemukakan salah satu konsepsi pendidikan lingkungan yang dapat diaplikasikan juga untuk pendidikan kebencanaan, yaitu proses pendidikan tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan binaan, termasuk tata hbungan manusia dengan bencana, alokasi dan pengurusan sumberdaya alam, pelestarian, transportasi, teknologi, perencanaan kota dan pedesaan.

Apa saja sasaran yang dibentuk dari pendidikan ini?
Adapun sasaran pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam resolusi Belgrade International Conference on Environmental Education, meliputi:
  1. Awareness, yaitu kesadaran: membantu individu/kelompok sosial untuk memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap permasalahan lingkungan secara menyeluruh.
  2. Knowledge, yaitu pengetahuan: membantu individu/kelompok sosial memiliki pemahaman terhadap lingkungan secara total baik permasalahan mapun peran dan tanggungjawab manusia di dalamnya.
  3. Attitude, yaitu sikap: membantu individu/kelompok sosial memiliki nilai sosial, rasa kepedulian terhadap lingkungan, serta motivasi untuk berperanserta secara aktif dalam upaya-upaya perlindungan dan pengembangan lingkungan.
  4. Skill, yaitu keterampilan: membantu individu/kelompok sosial memiliki keterampilan untuk memecahkan permasalahan lingkungan.
  5. Evaluation ability, yaitu kemampuan mengevaluasi: membantu individu/kelompok sosial mengevalusi persyaratan-persyaratan lingkungan dan program pendidikan dari segi-segi ekologi, politik, ekonomi, sosial, estetika, dan pendidikan.
  6. Participation, yaitu peranserta: membantu individu/kelompok sosial untuk dapat bertanggungjawab dan sigap terhadap suatu permasalahan lingkungan sehingga dapat mengambil tindakan yg relevan untuk pemecahannya.
Media apa yang diperlukan?
Wilayah Indonesia yang sangat luas dan tidak ratanya topografi permukaan bumi menjadi tantangan untuk mengkampanyekan kesiapsiagaan menghadapi bencana sejak dini kepada seluruh lapisan masyarakat.
Program pendidikan kebencanaan melalui jalur formal dapat dilakukan dengan pendekatan contextual teaching and learning (Lies Rahayu, dkk., 2009) yaitu pembelajaran tentang kebencanaan yang sesuai dengan tipe bencana yang terdapat di sekitar kehidupan siswa dengan cara mengamati, mengidentifikasi, menganalisis, dan membuat sintesis tentang kasus bencana yang mereka temui.
Jalur informal dapat dilakukan secara langsung menggunakan komunikasi. Komunikasi menjadi kunci keberlangsungan pendidikan kebencanaan, yang implementasinya dapat menggunakan bermacam-macam media, baik berupa audio (siaran radio), visual (poster, leaflet, booklet, buku saku, berita surat kabar), ataupun audiovisual/siaran televisi (gambar 3).

Gambar 3. Pendidikan publik dan kesiapsiagaan masyarakat (LIPI, 2013)
Seperti apa ciri-ciri masyarakat yang mengindikasikan keberhasilan terbentuknya sadar bencana?
Program pendidikan kebencanaan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Pembangunan dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana perlu diupayakan melalui penyelenggaraan program pembelajaran tentang kebencanaan. Keberhasilan dari proses pembelajaran tentang kebencanaan diindikasikan oleh terbentuknya masyarakat sadar bencana, dengan ciri-ciri (Lies Rahayu, 2009):
  1. Leadership: masyarakat tanggap dalam mengambil sikap secara mandiri dan spontan.
  2. Thinking skill and living skill: masyarakat memiliki keterampilan dalam berpikir dan berkehidupan di daerah yang rawan bencana.
  3. Partnership and working group: terbentuknya sistem kemitraan dan kelompok kerja dalam melakukan penanggulangan bencana.
  4. Problem solving: masyarakat dapat melakukan pemecahan masalah kebencanaan di daerahnya.
  5. Decision making: masyarakat mampu melakukan pengambilan keputusan secara tepat untuk mengatasi bencana di daerahnya (gambar 3).

Gambar 4. Siklus bencana (File, 2013)


Kesimpulan
Bencana seringkali datang tidak terduga oleh sebab itu perlu disikapi dengan kesiapsiagaan dan kewaspadaan. Program pendidikan kebencanaan merupakan media partisipasi aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana yang berkelanjutan. Konsep belajar sambil mempraktekkan (learning by doing) menjadi langkah efektif untuk media pembelajaran tentang kebencanaan bagi masyarakat.

PUSTAKA
A Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
File. 2013. Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia. Situs: http://perencanaankota.blogspot.com/2013/02/perencanaan-tata-ruang-berbasis.html.
Gusti. 2014. Mahasiswa UGM Beri Pendidikan Bencana Bagi Anak-Anak di Pulau Kei dan Sabang. Situs: http://ugm.ac.id/id/berita/8778-mahasiswa.ugm.beri.pendidikan.bencana.bagi.anak-anak.di.pulau.kei.dan.sabang.
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. 2009. Telaah Isu Strategis: Pengurangan Risiko Banjir bagi Kota-Kota Utama di Indonesia. Situs: http://www.pu.go.id/isustrategis/view/26.
Lies Rahayu WF. 2009. Pendidikan Kebencanaan Berkelanjutan untuk Pengurangan Risiko Bencana. Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM. Yogyakarta.
Lies Rahayu, Indra Bastian, Imam Zameoni, Wulansari. 2009. Model Inovasi-Inovasi Pendidikan Berparadigma Pembangunan Berkelanjutan Pada Pendidikan Dasar di DI Yogyakarta. Laporan Penelitian Hibah Riset Unggulan UGM tahun 2009.
LIPI. 2013. Peningkatan Kesiapsiagaan Masyarakat. Situs: http://communitypreparedness-lipi.blogspot.com/2013/02/peningkatan-kesiapsiagaan-masyarakat.html.
Listo Yuwanto. 2014. Pentingnya Pendidikan Kebencanaan. Situs: http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/139/Pentingnya-Pendidikan-Kebencanaan.html
Soetaryono. 1999. Aplikasi Pendidikan Lingkungan pada Jenjang Sekolah Menengah. Makalah Lokakarya Penerapan Model Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan IPB dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Bogor.
The Ministry of Education. 2003. The Key Concept Underlying Environmental Education. Wellington. New Zealand.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar